Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi
salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat.
Salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana
tercantum dalam Propenas serta strategi Making Pregnancy Safer (MPS) atau
kehamilan yang aman sebagai kelanjutan dari program Safe Motherhood dengan
tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru
lahir (MDG’s, 2010), dalam pernyataan yang diterbitkan di situs resmi WHO
dijelaskan bahwa untuk mencapai target Millennium Development Goal’s, penurunan
angka kematian ibu dari tahun 1990 sampai dengan 2015 haruslah mencapai 5,5
persen pertahun (antaranews, 2007)
Salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas ibu adalah infeksi pada masa nifas dimana infeksi tersebut berawal
dari ruptur perineum. Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya rupture
spontan maupun episiotomi perineum yang dilakukan atas indikasi antara lain: bayi
besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan dengan
menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak
dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan
indikasi di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan
pada daerah perineum yang lebih berat (Prawirohardjo, 2005).
Di seluruh dunia pada tahun 2009
terjadi 2,7 juta kasus rupture perineum pada ibu bersalin. Angka ini
diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin
tingginya bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik. (Hilmy,
dalam http://stikesharapanmama.blogspot.com, 2010).
Di Amerika 26 juta ibu bersalin yang
mengalami rupture perineum, 40 % diantaranya mengalami rupture perineum
(Heimburger, dalam http://stikes harapanmama.blogspot.com, 2009). Di Asia
rupture perineum juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50
% dari kejadian rupture perineum di dunia terjadi di Asia (Campion, dalam
http://stikes harapanmama.blogspot.com, 2009). Prevalensi ibu bersalin yang
mengalami rupture perineum di Indonesia pada golongan umur 25-30 tahun yaitu 24
% sedang pada ibu bersalin usia 32 –39 tahun sebesar 62 %.
Hasil studi dari Pusat Penelitian
dan Pengembangan (Puslitbang) Bandung, yang melakukan penelitian dari tahun
2009–2010 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima
ibu bersalin yang mengalami rupture perineum akan meninggal dunia dengan 21,74%
(Siswono, dalam http://stikesharapanmama.blogspot.com, 2003 )
Dampak dari terjadinya rupture
perineum pada ibu antara lain terjadinya infeksi pada luka jahitan dimana dapat
merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang dapat
berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi pada
jalan lahir. Selain itu juga dapat terjadi perdarahan karena terbukanya
pembuluh darah yang tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus
menerus. Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya
kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik ibu post partum masih
lemah (Manuaba, 1998).
Sebuah kajian deskriptif tentang
profil kematian persalinan dan evaluasi kasus ruptur di RS Hasan Sadikin dan 3
rumah sakit jejaringnya pada periode 1999-2003. Hasilnya, insiden kasus ruptur
di RS Hasan Sadikin 0,09% (1 : 1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit
lebih tinggi yaitu 0,1% (1: 996). Di RSHS, tidak didapatkan kematian ibu,
sedangkan di 3 rumah sakit jejaring didapatkan sebesar 0,4%. Maka dari itu
dapat disimpulkan, kasus ruptur perineum memberi dampak yang negatif baik pada
ibu maupun bayi (Farmacia, 2007).
Beberapa faktor penyebab terjadinya
rupture perineum terdiri atas faktor ibu seperti: usia, paritas, partus
presipitatus, ibu yang tidak mampu berhenti mengejan, partus yang diselesaikan
dengan buru-buru, edema dan kerapuhan perineum, varises vulva, arkus pubis yang
sempit sehingga kepala terdorong kebelakang dan episiotomi yang
sempit, dan faktor janin antara lain: bayi besar, kelainan presentasi,
kelahiran bokong, distosia bahu (Oxorn, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar